“Celana panjang saya sudah dibelikan, Bu?” Tanya dik Nardi kepada ibu. “Ya ampun, Ibu kelupaan Nak” Tukas ibu. “Ya…lupa lagi, lupa lagi’ sahut dik Nardi singkat sambil pergi ke kamarnya. “Ibu kok begitu dengan dik Nardi, Bu, timpal saya yang mendengar pembicaraan itu sejak tadi. “Nanti dik Nardi ngmbek lho, “ lanjut saya lagi. “Aduh Nik, Ibu benar-benar lupa, ya bagaimana lagi,” jawab ibu. “Alah… Ibu paling juga dilupakan, “ tukas saya acuh lalu berlalu menuju ke kamar saya.
Saya sangat kesal terhadap sifat ibu yang suka lupa dan tidak berusaha untuk selalu mengingat apa yang telah dijanjikan kepada kami, anak-anaknya. “Kasihan sekali dik Nardi,” pikirku. Sudah dua minggu ini ia minta dibelikan celana panjang abu-abu, untuk menggantikan celana panjang lusuh yang biasa dipakainya ke sekolah. Sudah beberapa kali pula ia menagih permintaannya itu kepada ibu, namun selalu saja ibu menjawab hal yang sama, “lupa”. Sekalipun begitu ia tidak pernah marah ataupun merajuk terhadap jawaban ibu itu. Mungkin ia telah paham akan sifat ibu yang satu itu atau, mungkin juga karena ia memang orangnya tidak suka membantah, ehm, entahlah. Memang dik Nardi  orangnya sangat pendiam dan penurut. Tidak seperti saya, kakaknya “Cerewet” kata yang sering dilontarkan ibu kepada saya jika sedang kesal dengan ocehan saya. Dik Nardi itu sifatnya seperti ayah. Tidak banyak bicara. Akan berbicara kalau dianggapnya perlu saja. Sedangkan ibu, wah…sangat berbeda dengan ayah, dan satu yang sangat tidak saya sukai akan sifat ibu, ya, sifat lupanya itu tadi. Padahal seringkali saya menganjurkan ibu agar selalu mencatat apa-apa yang akan dilakukannya supaya tidak lupa. Pada awalnya memang ibu tidak keberatan melakukannya, dan saya sangat senang akan hal itu. Namun, lama-kelamaan ibu lupa lagi untuk melakukannya. Kalau diingatkan kembali ibu biasanya akan menjadi jengkel. “Malas Nik, mau dicatat terus, apa-apa mau dicatat, Ibu kan bukan anak sekolah lagi, begitu katanya. Kalau sudah begini, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ah, Ibu, Ibu…pikiranku terus melayang jauh hingga akhirnya saya tertidur tanpa sempat makan siang terlebih dahulu.
Pagi ini, ketika kami sedang sarapan, dik Nardi berkata kepada ibu, “Bu kalau Ibu tidak sempat membelikan celana panjang saya, biar saya saja nanti membelikannya sepulang sekolah,” katanya. “Oh bagus kalau begitu,” ujar ibu kepada dik Nardi. “Akan lebih bagus lagi kalau Kamu mengupahkannya saja ke tukang jahit, akan lebih murah biayanya dan ukurannya bisa pas dengan badanmu, “ tambah ibu dengan senang. Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar hal itu. “Yah, sebaiknya seperti itu saja, daripada dik Nardi minta dibelikan kepada ibu yang entah kapan akan dibelikannya, pikir saya. Saya sendiri heran mengapa ibu sukar sekali untuk menepati janjinya kali ini kepada dik Nardi. “ Apa ibu sekarang sudah tambah pelupa ya?” tanyaku di dalam hati. “Ah, tidak tahulah,” pikirku lantas beranjak dari kursi dan pamit kepada ayah dan ibu untuk pergi ke sekolah. Ketika melangkahkan kaki ke luar pintu sempat kulihat ibu sedang memberi uang kepada dik Nardi.
Di sekolah, sewaktu bu guru sedang menjelaskan materi pelajaran, hati saya sangat risau, tidak tenang. Saya merasa panas dingin di sekujur tubuh saya. Beberapa kali saya mencoba untuk mengkonsentrasikan pikiran saya ke materi pelajaran yang diberikan bu guru tersebut, namun tidak berhasil. “Aduh, apakah saya ini akan sakit” pikirku. “Atau apakah akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan ya, atau apa ada yang sedang membicarakan saya? Tanyaku lagi dalam hati. Hati saya jadi bertambah was-was saja. Terus terang, saya sangat percaya kata teman dan beberapa sanak familiku yang mengatakan bahwa apabila suatu ketika kita sangat resah, tanpa tahu sebabnya itu pertanda akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan yang akan menimpa pada salah satu anggota keluarga kita, “ Singkatnya akan ada kabar buruk,” kata mereka. Atau, kalau tidak kemungkinan kita sedang dibicarakan orang, khusus bagian jahat atau menjahat-jahatkan diri kita. “Kalau hanya ada orang yang membicarakan kejahatan atau menjahatkan saya, itu tidak apa-apa, tapi kalau ada hal yang buruk terjadi pada salah satu anggota keluarga saya, wah…bagaimana ya?” pikirku resah. “Ya, Allah, mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa deh,” doa saya. Waktu ke waktu berlalu, mata pelajaran pun terus berganti. Lama sekali rasanya menunggu bel pulang itu berbunyi, pikiran saya sudah jauh sekali melayang, entah ke mana, tanpa sekalipun memikirkan ke materi yang diberikan oleh guru yang mengajar. Hanya mata saya saja sepertinya sedang memperhatikan guru yang mengajar, tapi pikiran saya tidak ke sana. Semua penjelasan yang diberikan oleh guru lewat begitu saja. Harapan saya untuk segera pulang ke rumah lama sekali menantikannya. Ketika bel yang dinantikan itu berbunyi, buru-buru saya ke luar kelas. Tidak kuperdulikan panggilan Lina teman akrabku. Setengah berlari saya pulang menuju kediamanku.
Betapa senang dan leganya hatiku sesampai di rumah. Kutemui ibu sedang menyiapkan makan siang di dapur. “Ah, ternyata tidak terjadi apa-apa di rumah ini,” kata hatiku. Ibu hanya tersenyum sekilas ketika kusapa, “Lapar, Bu!” tukasku sambil menyerobot sepotong perkedel kentang, dan menyuapkannya langsung ke dalam mulut. “Eh…cuci tangan dulu!” seru ibu, tapi terlambat makanan itu sudah pindah ke dalam mulutku. Saya hanya tertawa dan berjalan santai ke kamar kecil, melihat mata ibu mendelik jengkel kepada saya. Oh, alangkah segarnya ketika air kubasuhkan ke mukaku. Hilang sudah semua resahku, gelisahku, dipupus sejuknya air di mukaku. Kubasahi juga kepalaku dengan sedikit air, dingin dan sejuk sekali. Lalu kubasahi pula tanganku, lenganku, kakiku, dan kembali ke mukaku hingga berulang-ulang. Saya asyik sendiri dengan kegiatan itu, menyiramkan air ke tubuh, dan “Ah, mengapa saya tidak mandi sekalian saja. Bergegas saya melepaskan pakaian, namun ketika sedang melepaskan rok “Nik cepat Nik, ayah mau masuk!” panggil ibu. “Ya, ya Bu” sahutku agak gelagapan. “Oh rupanya ayah sudah pulang,” pikirku. Segera ke luar dari kamar itu, dan tidak jadi mandi. “Lama sekali Nik,” kata ibu. Saya hanya tersenyum kecil kepada ibu sambil memiringkan badan ke bagian kiri pintu memberi jalan buat ayah untuk masuk ke kamar tersebut. “Dik Nardi sudah pulang Bu?” tanyaku. “Belum, Ia kan sudah mengatakan kalau sepulang sekolah akan segera mengupahkan celana panjangnya terlebih dahulu, jawab ibu. “O, ya ya, hampir lupa,” sahutku. “Kita makan saja dulu dengan ayah, dik Nardi makan kemudian saja nanti,” lanjut ibu. “Yap,” jawabku tanpa banyak omong, lantas duduk di kursi makan.
Sudah pukul lima sore, dik Nardi belum juga pulang. Ibu mulai kelihatan gelisah menunggu. Sejak selesai makan siang tadi, ibu duduk-duduk di teras. Ayah dan saya ikut duduk setelah tidur siang terlebih dahulu. “Nardi sudah jam begini, mengapa belum pulang ya, Yah?” Tanya ibu kepada ayah. “Wah, ayah tidak tahu, Bu.” Jawab ayah, dan terus membaca koran di tangannya. “Nardi tidak biasanya pulang sesore ini, kalaupun mau pulang sore biasanya ia mengatakannya terlebih dahulu kepada ibu,” kata ibu dengan roman muka yang kelihatan gelisah. “Sebentar lagi barangkali, Bu!” sahutku mencoba menenangkan ibu, padahal hatiku juga mulai ikut gelisah. Baru selesai saya mengucapkan hal tersebut, dua petugas dari kepolisian menuju rumah kami. Saya dan ibu mulai was-was melihat kedatangan kedua petugas itu. Pikiran  saya mulai berprasangka yang tidak-tidak. Kulihat muka ibu kelihatan pucat. Ayah segera bangkit menyambut kedua pertugas tersebut. “Benar ini rumahnya Saudara Nardi, Pak?” Tanya salah seorang petugas itu kepada ayah. “Ya, benar,” jawab ayah singkat. “Boleh kami duduk, Pak? Eh maaf, Bapak orang tua Saudara Nardi, pak?” Tanya mereka ramah. “Oh ya, silakan, eh silakan duduk!” jawab ayah agak gugup kepada kedua petugas tersebut. Saya segera bangkit dari tempat duduk saya dan memberikannya kepada salah seorang petugas itu. “Ada apa ya?” Tanya ayah kepada mereka setelah semuanya duduk. “Ehm, begini Pak, sebelumnya kami mohon agar Bapak juga Ibu (kata seorang petugas itu sambil menoleh kepada ibu) supaya menerima kenyataan ini, bagaimanapun kami ini hanya menjalankan tugas untuk menyampaikan berita tentang anak Bapak dan Ibu,” lanjut petugas itu lirih. “Ya lekas katakan, ada apa sebenarnya Pak?” Tanya ayah tak sabar. “Ya, ada apa dengan anak kami Pak?” timpal ibu mulai menangis. Melihat ibu mulai menangis, saya mendekati ibu dan segera mengelus-elus pundaknya.” Tenang ya Bu,” kata saya dengan lembut. Melihat keadaan ibu, petugas yang baru bicara tadi menghembuskan napas berat. Ia menoleh kepada temannya, sepertinya ia tidak sanggup untuk melanjutkan pembicaraannya itu, dan memberikan isyarat agar temannya tersebut yang melanjutkan. Menerima isyarat tersebut, temannya itu segera berbicara sambil menghadap ayah. “Eh, anak Bapak telah tewas dikeroyok oleh segerombolan pemuda yang sedang mabuk-mabukan di pinggir jalan,” katanya sembari menghembuskan napas lega. Ibu yang mendengar hal itu spontan menjerit “Nardi!” sambil menangis tersedu-sedu dan langsung lari menghambur ke dalam rumah. Saya hanya bisa menangis tersedu-sedu dan segera menyusul ibu. Samar kudengar petugas itu mengatakan bahwa dik Nardi sekarang berada di rumah sakit, terbaring di ruang jenazah kepada ayah yang sedang duduk dengan lemas dan pasrah. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Semuanya gelap, gelap dan tubuhku terasa lemas sekali.
Ketika sore, menjelang malam ketiga dik Nardi telah dikebumikan, seorang wanita setengah baya datang. Wanita itu mengatakan bahwa ia disuruh mengantarkan pesanan dik Nardi oleh majikannya. Mendengar kedatangan seorang wanita yang mempunyai maksud demikian, saya yang lagi sibuk mempersiapkan acara “takziah” yang akan diadakan malam nanti untuk mengiringi kepergian dik Nardi, menjadi sangat penasaran. Tanpa memberitahu ayah dan ibu segera saya temui wanita itu. “Ada apa, Bu?” tanyaku kepada wanita itu. “Oh ini Dik, saya hanya disuruh untuk mengantarkan pesanan ini,” kata wanita itu sambil menyodorkan sebuah bungkusan kepada saya. Saya langsung menerimanya. “Pesanan ini kata majikan saya dipesan Dik Nardi tiga hari yang lalu,” lanjut wanita itu. “Ha, tiga hari yang lalu, berarti tepat pada hari kematian dik Nardi,” pikirku. Dengan terburu-buru segera kubuka bungkusan tersebut. Ketika wanita itu pamit pergi hanya kuanggukkan saja kepalaku tanpa melihat dan sempat mengucapkan terima kasih kepadanya. “Ya, Allah!” seruku tanpa sadar setelah melihat isi bungkusan tersebut. Celana panjang itu, ya sebuah celana panjang abu-abu. Celana panjang yang beberapa kali terlupakan oleh ibu untuk membelinya, dan akhirnya dik Nardi sendiri yang memesankannya kepada tukang jahit. Dan…sepulang dari sanalah ia dikeroyok oleh segerombolan pemuda yang lagi mabuk, yang…menyebabkan ia tewas. “Oh!”, keluhku, tanpa sadar air mulai membanjiri kembali kedua pipiku. Tak tahan saya mengingat semuanya itu, segera kubungkus celana panjang itu.” Akan kusimpan rapi” pikirku sambil menuju ke kamar. “Ibu jelas tidak kuat, tidak akan kuat bila terlihat olehnya,” pikirku lagi. Biarlah saya sendiri yang mengetahuinya. Akan kujadikan kenangan, celana panjang itu. Ya, kenangan terhadap sebuah celana panjang. Sebuah benda yang telah menjadikan tewasnya adikku. Walaupun maut itu sudah ditakdirkan oleh Allah, namun celana panjang itu telah menjadi perantaranya. “Selamat jalan, Dik Nardi”!      

Cerpen: Okt’, 02
  


Diposting oleh Rahmawati Blog on Rabu, 11 Januari 2012
categories: edit post

0 komentar

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Selamat Datang

Selamat datang di Blog Kontemplatif Cendekia, media yang mengajak Anda untuk sejenak merenung dan menjadi lebih bijak dalam melangkah.

Jam dan Tanggal

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Visitors

free counters

About Me

Foto Saya
Rahmawati Blog
Lihat profil lengkapku